iklan
Beberapa waktu lalu, media ramai memberitakan “perseteruan” Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan Wakil ketua DPRD DKI Jakarta, Lulung Lunggana (PPP). Awal persoalan ini terkait dengan rencana Pemprov DKI merelokasi PKL (Pedagang Kaki Lima) di Pasar Tanah Abang. Kemudian muncul kesan para pedagang tidak mau mematuhi rencana tersebut. Ahok pun melontarkan pernyataan, ada pejabat (anggota DPRD DKI Jakarta) yang menjadi “backing” para pedagang tersebut sehingga berani menentang rencana Pemerintah DKI tersebut.

Meski tak menyebut langsung oknum yang dimaksud, ucapan Ahok tersebut layaknya sedang membangunkan singa yang tidur. Tak tanggung-tanggung, politisi PPP yang juga wakil ketua DPRD DKI Jakarta, Lulung Lunggana yang memang diketahui cukup lama malang melintang di kawasan Tanah Abang merasa tersinggung dengan pernyataan tersebut. Lulung pun “menohok” dengan ucapan, sang wakil gubernur (Ahok) pantas diperiksa kejiwaannya. Tak mau kalah, Ahok pun menuding Lulung harus mundur dari jabatannya dan bahkan tidak pantas menjadi anggota DPRD karena tidak paham aturan.

Perseteruan kian memanas, pembela Haji Lulung yang menamakan diri RAJJAM (Rakyat Jakarta Jahit Mulut) Ahok melakukan demo ke Balaikota, Jakarta. Aksi tersebut bahkan sempat membuat Gubernur DKI, Joko Widodo merasa kuatir akan keselamatan Ahok. Namun anehnya, Ahok sama sekali tidak takut dan bahkan mengatakan ingin bertemu langsung dan menerima utusan para demonstran tersebut. Hebatnya lagi, di hadapan para demonstran, Ahok tetap tegas mempertahankan prinsipnya.
Sosok Ahok

Jika kita mengikuti berita di media massa, sebenarnya sudah cukup lama Ahok berhasil “mencuri” perhatian publik. Karakter/gaya bicara serta kepemimpinannya yang tegas bahkan terkadang kasar dinilai sebagian kalangan sangat unik dan dianggap cocok untuk melengkapi gaya kalem sang Gubernur, Joko Widodo. Jika Jokowi dikenal dengan gaya sederhana, merakyat, dan blusukannya, Ahok tampil dengan prinsip transparansi yang benar-benar dihayatinya.

Kisah singkat tentang siapa Ahok berikut karier politiknya adalah sebagai berikut. Terlahir sebagai keturunan etnis Tionghoa, Ahok yang berlatar belakang pengusaha mengawali karier politiknya menjadi anggota DPRD kabupaten Belitung Timur, dan tak lama kemudian ia maju sekaligus terpilih dalam Pilkada Bupati Belitung Timur. Ini cukup mengejutkan lantaran Ahok dengan latar etnis Tionghoa, beragama Nasrani bisa menang di daerah yang berpenduduk mayoritas Muslim (93 persen). Pada Pilkada tersebut, ia berhasil meraih suara 37,2 persen suara.

Hanya 2 tahun menjabat sebagai Bupati Belitung Timur, Ahok memutuskan mundur dari jabatannya dan maju dalam Pilkada Gubernur Bangka Belitung, namun gagal. Selanjutnya pada Pemilu legislatif 2009, Ahok berhasil terpilih menjadi anggota DPR-RI dan duduk di Komisi II. Yang menarik dari sosok Ahok adalah keberaniannya untuk mengungkap modus-modus penghamburan uang negara yang sering dilakukan oleh pejabat publik. Melalui situs web pribadinya (www.ahok.org), secara blak-blakan Ahok memaparkan pertanggungjawaban kinerja dan keuangannya ke publik. Bahkan Ahok berani memaparkan modus praktik penyimpangan yang dilakukan oleh rekan-rekannya sesama anggota DPR.

“Ideologi” Ahok

Jika mencermati pernyataan-pernyataannya di media cetak maupun elektronik, Ahok sering mengulang beberapa pernyataan yang menjadi semacam ideologi/prinsip dalam hidupnya. Ia bahkan tidak peduli, meski beberapa kali prinsip-prinsip tersebut dipelintir oleh orang-orang yang tidak senang padanya. Saya hanya mencatat beberapa sebagai berikut. Pertama, “Jika kepalanya lurus, bawahannya tidak berani tidak lurus”. Pernyataan ini hampir selalu diungkapkannya kala muncul pertanyaan tentang motivasinya terjun ke politik atau terkait pentingnya peran pemimpin dalam upaya pemberantasan korupsi.

Kedua, “Sila kelima Pancasila adalah keadilan sosial (bukan bantuan sosial) bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pernyataan ini biasa disampaikannya untuk memotivasi para aktivis dan kaum muda untuk terjun ke dunia politik, masuk ke dalam sistem pemerintahan. Menurut Ahok, hanya dengan menjadi pejabat publik, kita memiliki peluang yang sangat besar untuk mewujudkan keadilan sosial. Ketiga, “Saat ini rakyat butuh pemimpin dengan karakter teruji, bersih, transparan dan profesional”. Ini sering disampaikannya pada masa-masa kampanye. Hebatnya,  pernyataan ini pun disambung dengan “menantang” para pemilih dengan menyatakan, ia rela tidak dipilih oleh rakyat jika memang ada calon/kandidat yang lebih baik darinya.           

Keempat, “Saya lebih patuh pada ayat-ayat konstitusi daripada ayat-ayat kitab suci”. Pernyataan ini menegaskan pandangan hidup Ahok yang benar-benar ingin patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meski kemudian “ideologinya” ini sering dijadikan orang-orang untuk memojokkannya, Ahok seakan tak peduli. Kelima, ketika menghadapi para demonstran pembela Lulung, Ahok mengeluarkan pernyataan, “Bahkan saya siap dan rela mati demi konstitusi”.

Keenam, “Saya hanya patuh pada konstitusi bukan konstituen”. Orang yang picik akan menganggap pernyataan ini sebagai bukti bahwa Ahok tidak pro konstituen (rakyat). Padahal jika kita renungkan, “ideologi” Ahok inilah yang lebih tepat. Seorang pejabat publik (pemimpin) tidak akan mampu memenuhi seluruh keinginan konstituen yang sangat beragam bahkan mungkin sarat kepentingan. Namun seorang pemimpin bisa menciptakan keadilan sosial, jika ia patuh pada konstitusi.

Tentu masih ada beberapa pernyataan menarik Ahok yang menggambarkan prinsip hidup yang dipegangnya dengan sungguh-sungguh. Kesetiaan dan keteguhannya menjalankan “ideologi” yang diyakininya itu pun akhirnya membentuk seorang Ahok, tipikal pemimpin yang berani, gemar membuat terobosan positif, dan tidak pernah takut pada apapun atau siapapun. Republik yang sudah terancam bangkrut seperti saat ini butuh lebih banyak “Ahok” untuk memimpin negeri.

Penulis adalah Staf BPDAS Jambi Peminat masalah sosial politik

Berita Terkait



add images